Villa itu terletak di bagian tengah sebidang tanah
perbukitan yang luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat asri
karena dinding luarnya dihiasi dengan batu-batu pualam dan marmer serta
beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan dengan
villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yang lebat. Tingginya
mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya terlihat hijau karena
ditumbuhi oleh rumput yang terpangkas rapi. Beberapa batu alam berwarna abu-abu
dan cokelat tua dengan berbagai bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman
yang luas itu. Di pojok belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yang
dihuni oleh penjaga villa.
Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa sangat menonjol di dalam dan luar villa.
Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yang lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya sejak dari Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi akhirnya, sambil tersenyum, bra dan celana dalam mini yang dikenakannya pun ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yang menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yang tersembunyi di balik kimono itu.
Debby berdiri di balkon depan yang menghadap ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yang terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yang bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yang menyelimuti villa dan sekelilingnya.
Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih setengah jam lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yang selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya' gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa 'nakal' yang membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk berdampingan pada sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak menggunakan serbet untuk menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya lidah Theo saat menjilati paha dalam dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yang bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk, rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada taplak meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.
"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis Debby!", bisiknya manja.
Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun terkesima mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata 'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir vagina gadis itu ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai denyutan-denyutan vagina yang hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu bertanya dengan polos, "Kok pipis Debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki ingin jadi Theo, yang perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa yang menggemaskan!
Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yang sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun yang memandangnya!
Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dengan manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yang dipakainya telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.
"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"
Jantung Theo kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dalam hati. Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik, seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yang persis di belahan bibir vagina! Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tapi karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. Theo terdiam sejenak, lalu bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang nggak mau!" kata gadis itu merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak lama kemudian ia menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk. Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar Debby yang mengawasi mereka," katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran itu.
"Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru menunduk ya." sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"
Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya kedua bibir luar vagina itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan yang licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan.., seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya tertutup kembali. Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dengan mesra!
Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya. Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan jilatan Theo di restoran rib roast itu.
Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan "selamat tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan, "Nanti malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat istimewa."
Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa sangat menonjol di dalam dan luar villa.
Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yang lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya sejak dari Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi akhirnya, sambil tersenyum, bra dan celana dalam mini yang dikenakannya pun ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yang menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yang tersembunyi di balik kimono itu.
Debby berdiri di balkon depan yang menghadap ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yang terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yang bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yang menyelimuti villa dan sekelilingnya.
Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih setengah jam lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yang selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya' gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa 'nakal' yang membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk berdampingan pada sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak menggunakan serbet untuk menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya lidah Theo saat menjilati paha dalam dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yang bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk, rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada taplak meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.
"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis Debby!", bisiknya manja.
Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun terkesima mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata 'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir vagina gadis itu ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai denyutan-denyutan vagina yang hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu bertanya dengan polos, "Kok pipis Debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki ingin jadi Theo, yang perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa yang menggemaskan!
Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yang sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun yang memandangnya!
Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dengan manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yang dipakainya telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.
"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"
Jantung Theo kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dalam hati. Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik, seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yang persis di belahan bibir vagina! Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tapi karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. Theo terdiam sejenak, lalu bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang nggak mau!" kata gadis itu merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak lama kemudian ia menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk. Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar Debby yang mengawasi mereka," katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran itu.
"Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru menunduk ya." sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"
Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya kedua bibir luar vagina itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan yang licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan.., seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya tertutup kembali. Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dengan mesra!
Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya. Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan jilatan Theo di restoran rib roast itu.
Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan "selamat tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan, "Nanti malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat istimewa."
Sebenarnya ia telah membuat keputusan itu beberapa hari yang lalu. Bahkan ingin
memberikannya pada saat itu juga. Tapi karena hari ulang tahunnya yang ke-17
tinggal beberapa hari lagi, ia memutuskan untuk menundanya. Ia tahu bahwa Theo
akan merasa sangat berbahagia menerima hadiah itu. Ia sadar bahwa lelaki yang
selalu memanjakannya itulah orang yang paling tepat dan berhak untuk
mendapatkan hadiah itu. Lelaki yang dengan kedua bibirnya dapat membuatnya
menderita dalam rintihan nikmat. Lelaki yang telah memberikan arti nikmatnya
sebuah cumbuan di pangkal pahanya. Lelaki yang lidahnya menari-nari pertama
kali di vaginanya kira-kira sebulan yang lalu, yang kemudian secara rutin
seminggu dua kali selalu 'mimik' pipis enak dari pangkal pahanya. Lelaki yang
selama sebulan telah bersabar mencumbu dan dicumbu hanya dengan bibir dan
lidah.
'Theo memang lelaki yang sabar dan penuh perhatian', gumamnya ketika teringat
pada cendawan di ujung batang kemaluan Theo. Seolah masih terasa lembutnya
cendawan itu menyusup ke dalam rongga mulutnya. Cendawan yang terasa
mengalirkan kehangatan ketika menyentuh kerongkongannya, yang membuat ia
tersendat dalam nikmat, yang membuat rasa dahaganya sirna setelah mendapatkan
'mimik' pipis enak dari batang kemaluan itu, dan yang membuatnya terpejam
ketika segumpal lendir panas tiba-tiba 'menembak' kerongkongannya.
Gadis remaja itu tersenyum manis ketika melihat cahaya lampu mobil yang mendekati
villanya. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga ke lantai 1 dan setengah berlari
menuju halaman. Langkahnya yang cepat membuat pahanya yang berwarna kuning
gading sesekali menyembul dari belahan kimono yang pakainya. Segera dipeluknya
pinggang lelaki itu. Pelukannya yang sangat ketat seolah menunjukkan kerinduan
yang mendalam. Padahal mereka baru berpisah beberapa jam yang lalu.
Theo menggamit dagu gadis remaja itu, membuat wajahnya yang cantik menengadah.
Lalu ia menunduk dan menggosok-gosokkan hidungnya ke ujung hidung gadis itu.
Dalam keremangan cahaya lampu neon di teras, bibirnya memagut bibir gadis itu.
Dikulumnya bibir mungil itu dengan penuh perasaan. Ia ingin menunjukkan rasa
cintanya yang dalam. Dan ketika lidah gadis itu menjulur, lidah itu segera
dipilinnya dengan lidahnya sambil dihisapnya dengan lembut.
"Kangen nggak?"
"Kangen banget, Sayang!" jawab Theo sambil mengecup leher jenjang
gadis itu.
"Geli, Theo!"
"Oh ya. Kalau yang ini..?" tanya Theo sebelum mengecup dan
menjentikkan ujung lidahnya persis di bawah dagu.
"Enak..!"
Jawaban itu membuat Theo lebih bersemangat menciumi leher gadis itu. Sesekali
lidahnya menjulur menjilat hingga membuat gadis itu beberapa kali mendongakkan
kepalanya. Lalu ia merasakan kedua belah lengan yang merangkul pinggangnya
berpindah ke lehernya, membuat buah dada gadis itu menempel ketat ke dadanya.
Karena senang dan gemas, kedua telapak tangannya segera meremas bongkah pantat
gadis itu. Bongkah pantat itu terasa kenyal karena belum sepenuhnya mengembang.
Diremasnya berulang kali. Bahkan sambil meremas, bongkah pantat itu agak
ditariknya ke atas agar ia tak perlu terlalu menunduk ketika menciumi leher.
Debby menyukai tarikan di bongkah pantatnya walau hal menyebabkan ia harus
berjinjit. Tak lama kemudian, karena jari-jari kakinya mulai terasa kelu, ia
menggantung di leher agar dapat melingkarkan kedua belah kakinya di pinggang
lelaki itu. Tumitnya terpaksa menekan pinggul Theo ketika ia merasakan
ciuman-ciuman basah merayap menuju buah dadanya. Ciuman yang membuat ia
beberapa kali melengkungkan punggungnya ke belakang, memberi ruang yang lebih
luas kepada lelaki itu untuk menciumi buah dadanya. Beberapa menit kemudian,
tumitnya menekan lebih keras karena ia ingin mengangkat badannya lebih tinggi
agar ciuman-ciuman itu segera mendarat di buah dadanya.
Theo menarik bongkah pantat gadis itu lebih tinggi setelah menyadari bahwa di
balik kimono itu tidak ada bra yang menghalangi. Walau kimono itu belum
sepenuhnya terbuka, bibirnya sudah tidak sabar untuk segera mengecup celah di
antara kedua buah dada yang baru mekar itu. Lidahnya pun mulai merayap dari
lekukan bawah hingga ke putingnya yang kecil. Semakin lama lidah itu bergerak
semakin cepat. Menjilati bergantian. Buah dada kiri dan kanan. Dan ketika
merasakan air liurnya telah membasahi kedua buah dada itu, ia segera mengulum
putingnya yang kemerahan.
"Ooh..! Ooh.., Theo! Aarrgghh..!" desah Debby ketika merasakan puting
dadanya digigit dengan lembut. Dan ketika bibir lelaki itu berpindah ke buah
dada sebelahnya, lalu mengulum dan menjentik-jentikkan ujung lidah di putiknya,
ia mengerang..
"Theoo..! Aargh.., enak!!" Tapi beberapa detik kemudian, ia mendorong
kepala lelaki itu.
"Gendong ke atas dong, Theo," katanya sambil menunjuk ke arah balkon.
Debby tahu bahwa setelah menciumi buah dadanya, guru matematikanya yang tampan
itu akan menciumi betis, lalu paha, dan pangkal pahanya. Dari beberapa cumbuan
oral yang mereka lakukan sejak sebulan yang lalu, ia pun tahu bahwa kedua
betisnya akan mendapat ciuman-ciuman basah bila cumbuan itu dilakukan di atas
tempat tidur. Tapi kali ini ia menginginkan cumbuan yang agak berbeda. Sesuatu
yang berbeda akan menciptakan sensasi yang berbeda pula, yang akan membuat
tubuhnya menderita dalam kenikmatan berkepanjangan. Ia menginginkan ciuman dan
jilatan basah merayap dari kedua betis hingga ke bibir vaginanya dilakukan
ketika ia sedang berdiri di balkon villa! Walaupun sesungguhnya ia tak dapat
memastikan apakah hangatnya jilatan-jilatan rakus di vaginanya akan mampu
melawan dinginnya embun dan tiupan angin malam yang menerpa tubuhnya.
Ia merinding membayangkan kenikmatan akibat sensasi yang luar biasa itu.
Merinding karena ia ingin mengalami orgasme dalam terpaan embun putih dan
dinginnya angin malam! Suasana seperti itulah yang diinginkannya. Di satu sisi
ia ingin merasakan dinginnya tiupan angin malam di sekujur tubuh, dan di sisi
lain ia ingin merasakan hangatnya lidah yang terselip di bibir vaginanya.
Sensasi yang luar biasa itu akan membuat tubuhnya kejang pada saat segumpal
lendir orgasmenya akan langsung dihisap oleh lelaki yang dicintainya itu dengan
rakus. Lendir orgasme yang tumpah ketika ia berdiri menggigil kedinginan dalam
selimut embun malam!
Gadis itu merasa melayang ketika Theo menggendongnya menuju balkon. Vaginanya
mulai terasa basah ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya dengan hati-hati.
Karena tali kimono yang melilit pinggangnya sudah kendur, angin malam yang
dingin terasa langsung menerpa bagian depan tubuhnya. Ia mulai menggigil.
"Di sini?"
"Hmm!"
Debby menyandarkan punggungnya ke kusen pintu, lalu memandang ke sekelilingnya.
Putih berkabut. Ia menoleh ke arah rumah penjaga villa di sudut barat, juga
putih berkabut. Walaupun lampu neon di balkon tidak dimatikan, ia merasa yakin
tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Sambil tersenyum, diangkatnya kaki
kirinya lalu meletakkan telapak kakinya di sandaran lengan kursi di sebelahnya.
Bagian tengah kimononya, dari pinggang ke bawah menjadi terbelah dua.
"Di sini, Theo. Puaskan Debby di sini! Sepuas-puasnya, Sayang. Debby ingin
malam ini menjadi malam yang tak terlupakan. Debby ingin pipis enak di sini.
'Mimik' ya Sayang. Kalau udah puas 'mimik', baru kita pindah ke dalam. Debby
akan beri hadiah istimewa untuk Theo di kamar!"
Theo tertegun. Posisi gadis belia yang disayanginya itu sangat menantang,
membuat ia tak mampu menjawab. Matanya nanar menatap keindahan kaki yang keluar
dari belahan tengah kimono, yang lututnya tertekuk karena telapaknya menginjak
lengan kursi. Mulutnya setengah terbuka ketika matanya menatap pangkal paha
gadis itu. Terkesima. Ia baru menyadari bahwa tak ada celana dalam mini atau
G-string yang menutupi pangkal paha itu. Dalam keremangan, masih dapat
dilihatnya bulu-bulu ikal halus dan tipis di bagian atas vagina yang segar itu.
"Mau 'kan, Theo?"
"Akan kuturuti apa pun yang Debby inginkan," kata Theo sambil
berlutut di hadapan gadis itu.
Dengan posisi berlutut, betis indah itu berada persis di sebelah pipi Theo. Dan
dengan lembut diusap-usapkannya telapak tangannya ke betis itu. Semenit
kemudian, dibelai-belainya betis itu dengan pipinya. Ia ingin merasakan
kehalusan pori-pori betis itu di pipinya! Lalu ia mengecupnya. Mula-mula ia
mengecup bagian bawah, tetapi semakin lama semakin naik ke arah belakang lutut.
Mula-mula kecupannya kering, tetapi semakin mendekati belakang lutut,
kecupannya semakin basah. Ketika bibirnya telah terselip di belakang lutut yang
tertekuk itu, ia mengecup sambil mempermainkan ujung lidahnya.
"Geli, Theo!" kata gadis ketika ia merasakan kumis Theo menggelitik
belakang lututnya.
Kedua belah tangannya mendekap dada untuk mengurangi dinginnya terpaan angin
sekaligus untuk menahan agar belahan tengah kimononya tetap tertutup.
Sebaliknya, ia mulai merasakan kehangatan di pangkal pahanya.
Theo memindahkan kecupannya ke betis yang sebelah lagi. Betis itu terasa lebih
kenyal karena berat badan Debby bertumpu pada sebelah kaki. Dengan sabar, Theo
mengecup kembali. Mengulangnya berulangkali. Dan kemudian mulai menjilat ke
arah bawah. Sesekali ia mengecup dengan gemas, setengah menggigit.
Debby menunduk dengan mata terbuka lebar. Ia merasa senang dan tersanjung
menatap guru matematikanya itu berlutut di antara kedua belah kakinya.
Jantungnya berdebar-debar melihat lelaki yang sabar itu harus membungkuk agar
dapat mengecup betisnya. Ia merasa senang dan tersanjung. Perasaan itu seolah
membongkah dan memberi kehangatan di rongga dadanya. Membuat dirinya seolah
melambung tinggi ke dalam dinginnya embun malam. Ia pun sangat menikmati
hembusan nafas yang terasa hangat di betisnya. Setiap kali lelaki itu mengecup,
seolah tersisa kehangatan di bekas kecupannya.
Theo mulai menciumi lutut bagian dalam. Sambil mencium, matanya menatap bibir
vagina gadis itu. Walau terlihat samar, tetapi cahaya lampu neon di
langit-langit balkon membuat bibir vagina tampak mengkilap. Pasti sudah ada
sedikit cairan lendir yang terselip di antara bibir itu, katanya dalam hati.
Lalu dengan cepat diterkamnya vagina yang segar itu. Lidahnya segera membelah,
dan bibirnya segera mengisap. Setelah itu, dengan cepat pula ia menarik
kepalanya menjauhi vagina itu. Hanya sedikit cairan lendir yang terhisap.
Debby memekik karena terkejut. Ia tak menduga Theo akan 'menerkam' vaginanya
secepat itu. Walau hanya sekejap, dalam keterkejutannya, terkaman itu ternyata
mampu mengalirkan kehangatan di sekujur tubuhnya. Mungkin karena terkejut,
sekejap ia lupa pada dinginnya terpaan angin malam.
"Theo jahat! Nggak sabar ya?"
"Ingat, tak ada setetes pun yang terbuang!"
"Paha dulu!" kata gadis itu sambil mendorong kepala Theo ke arah pahanya.
Theo menatap keindahan paha yang terpampang di depannya. Paha itu terbuka lebar
dan karena telapaknya terletak di atas sandaran lengan kursi, dengan mudah ia
menciumi dan sesekali menjilatnya karena paha itu persis setinggi kepalanya.
Kulit paha itu terasa dingin di bibirnya. Lalu diusapkannya wajahnya beberapa
kali ke permukaan paha dalam yang mulus itu. Ia suka merasakan kemulusan paha
itu di wajah dan pipinya. Semakin sering mengusap-usapkan wajah dan
menciuminya, kulit paha itu terasa semakin hangat. Kedua belah telapak
tangannya pun giat bergerak menyalurkan kehangatan. Tangan kirinya
mengusap-usap paha kanan bagian luar, sedangkan telapak kanannya digunakan
untuk mengusap-usap betis kiri gadis itu.
Debby sangat menyukai usapan-usapan telapak tangan Theo. Usapan-sapan itu
mengurangi dinginnya terpaan angin malam. Bahkan kehangatan pun mulai terasa
menjalar di bagian bawah perutnya ketika ia merasakan lidah Theo merayap
mendekati lipatan antara paha dalam dan vaginanya. Ia merintih ketika bibir
lelaki yang suka 'mimik' pipisnya itu menariki bulu-bulu halus di sekitar bibir
vaginanya. Bulu-bulu itu masih terlalu pendek, masih sepanjang bulu alis mata
sehingga bibir itu selalu gagal menariknya. Hal itu malah membuat vaginanya
semakin basah. Setelah mengencangkan lilitan kimono agar belahan di bagian
dadanya tidak terbuka, kedua lengannya segera jatuh di atas kepala lelaki itu.
Ia menginginkan lidah hangat itu membelah bibir vaginanya.
"Theo, mimik dulu dong lendirnya," kata gadis itu sambil membuka
bibir vaginanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Sejenak, Theo
menghentikan ciuman-ciumannya. Ia menengadah sambil tersenyum, tak lama
kemudian, ia kembali menciumi paha kiri gadis itu. Sengaja tidak diturutinya
keinginan gadis itu.
"Theo, jahat!" kata gadis itu sambil menarik kepala Theo ke arah
pangkal pahanya. Kedua tangannya menahan agar kepala itu tetap berada di
pangkal pahanya. Dan ketika ia merasakan kehangatan lidah menyusup ke dalam
vaginanya, ia merintih..
"Ooh, ooh.., enak Theo! Aarrgghh..!"
Tarikan nafasnya pun mulai tak teratur ketika lidah itu menjilati dinding dan
bibir dalam vaginanya. Ia mendorong pinggulnya agar lidah itu masuk semakin
dalam. Ia mulai lupa dan tak merasakan dinginnya angin malam. Biasanya, keadaan
seperti itu membuat pori-pori di sekujur tubuhnya terbuka. Berkeringat. Tapi
saat ini, tak ada setetes pun keringat di kulitnya. Pori-porinya tetap
tertutup. Kenikmatan dan kehangatan nafas yang mendengus-dengus di vaginanya hanya
mampu memberi kehangatan tetapi tak mampu membuatnya berkeringat. Dan ia
menyukai hal itu! Sebuah sensasi yang membuat vaginanya semakin basah
berlendir. Apalagi ketika merasakan lelaki itu mengisap lendir yang terselip di
bibir dalam baginanya, ia merintih berulang kali..
"Argh..! Argh..! Theo, Oh nikmatnya, sstt, sstt.., aarrgghh..!" Ia
menjadi lupa pada paha kirinya yang belum cukup banyak mendapat cumbuan.
Malam itu Theo merasakan sebuah perbedaan. Aroma segar kemaluan gadis itu tidak
setajam biasanya. Mungkin karena aroma itu langsung tertiup angin malam. Karena
rindu akan aroma itu, Theo menekan hidungnya ke celah sempit di antara bibir
vagina gadis itu. Ditekannya sedalam-dalamnya sambil menghirup aroma yang
sangat dirindukannya itu.
Debby terkejut merasakan hidung lelaki itu tiba-tiba menusuk lubang vaginanya.
Ia menggelinjangkan pinggulnya. Menggelinjang dalam kenikmatan. Geli dan nikmat
tiba-tiba terasa menusuk hingga ke jantungnya. Ia merintih-rintih
berkepanjangan akibat dengusan nafas di dalam lubang vaginanya.
"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun, Theo..! Aarrgghh.., aarrgghh..!"
rintihannya semakin keras ketika merasakan kumis lelaki itu menyapu
klitorisnya.
"Ampun, ampun.. Theo! Aarrgghh..! Debby mau pipiis!"
Tapi ia tak berusaha menghindari hidung itu. Ia bahkan memutar pinggulnya
sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Ia tak ingin hidung itu tak
lepas dari jepitan bibir vaginanya. Hal itu tak berlangsung lama. Ia hanya
mampu memutar-mutar pinggulnya beberapa kali! Tiba-tiba saja ia merasakan
adanya dorongan lendir orgasme yang tak mampu ditahannya. Dorongan itu terasa
sangat kuat. Jauh lebih kuat daripada dorongan yang biasanya ia rasakan ketika
mendekati puncak orgasmenya.
"Theo, Theo.., Debby mau pipis! Aarrgghh.., mimik!"
Theo mendengar rintihan itu. Tapi ia tak ingin menarik hidungnya. Ia tak peduli
walaupun merasakan dua lengan memukul-mukul kepalanya dengan gemas. Ia telah
terbius oleh aroma, kehangatan, kelembutan, dan kehalusan dinding vagina gadis
remaja itu. Bahkan semakin diremas dan ditariknya kedua bongkah pantat gadis
itu agar hidungnya semakin tenggelam ke dalam liang vagina yang segar itu.
Remasannya di bongkah pantat itu sangat kuat, membuat gadis itu hanya dapat
merintih dan meronta-ronta. Dan tak lama kemudian, ia merasakan lendir hangat
membasahi ujung hidungnya. Ia sangat senang merasakan kehangatan lendir itu.
Lendir yang membasahi hidungnya ternyata membuat batang kemaluannya semakin
tegang. Bengkak. Mungkin karena merasakan nikmat yang berbeda dari biasanya.
Selama sebulan, telah berkali-kali ia rasakan orgasme gadis itu di ujung
lidahnya. Tapi kali ini berbeda, ia merasakannya di ujung hidungnya!
Walaupun terasa agak sesak, Theo menarik nafas. Ia menghirup aroma yang sangat
pribadi itu langsung dari bagian yang sangat dalam dan tersembunyi! Ia pun
merasa sangat puas karena baru kali ini ia mendengar gadis cantik itu
merintih-rintih minta ampun!
"Aarrgghh.., ampun! Ampun.., Debby pipiis!" rintih gadis itu sambil
berusaha menarik pinggulnya agar hidung lelaki itu terlepas.
Ia tak mampu mengendalikan rasa nikmat dan geli yang bercampur menjadi satu di
lubang vaginanya. Tapi remasan telapak tangan di bongkah pantatnya lebih kuat
daripada tarikan pinggulnya. Akhirnya ia hanya merintih-rintih melepaskan
lendir orgasmenya ketika hidung itu mendengus-dengus. Seluruh sendi-sendi di
sekujur tubuhnya menjadi lunglai. Membuat ia pasrah dan berusaha agar tak
terjatuh ke lantai.
Theo menarik hidungnya setelah merasakan lendir orgasme itu berhenti mengalir.
Ia menengadah sambil tersenyum puas. Ia dapat melihat kenikmatan yang baru saja
usai mendera gadis itu. Hal itu terlihat dari bola mata yang menatap hampa dan
kelopak mata yang setengah terpejam.
"Theo jaa.. haatt.., Theo jahat! " kata Debby terengah-engah sambil
meminjit hidung lelaki itu dengan jempol dan telunjuknya. Tapi jari itu
terpeleset karena hidung itu masih dipenuhi lendir licin.
"Jahat!" ulangnya sambil memijit kembali.
"Oh ya?" sahut Theo sambil menunduk. Lalu ia mulai menjilati vagina
yang masih berlepotan lendir itu.
Debby menggeliat ketika merasakan kembali lidah yang menjilati bibir luar
vaginanya. Ia merasa lelah tetapi ia pun tahu bahwa ia tak dapat menghindar
dari lidah yang selalu rajin membersihkan sisa-sisa lendir orgasme di
vaginanya. Ia tetap berdiri walau tungkai kakinya mulai terasa pegal, terutama
tungkai kakinya yang menginjak lengan kursi. Ia tidak akan mendorong kepala itu
menjauhi vaginanya. Percuma. Ia tahu bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itu
tak akan berhenti menjilati sebelum vaginanya benar-benar bersih. Selain itu
masih ada hal yang belum ia dapatkan. Malam itu ia belum merasakan nikmatnya
'menumpahkan' lendir orgasmenya langsung ke dalam mulut yang terjebak di dalam
vaginanya. Terjebak di bagian yang paling dalam dan tersembunyi. Belum
merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasme langsung ke dalam bibir dan
lidah yang menghisap-hisap vaginanya ketika dinginnya angin malam menerpa
tubuhnya.
Ia menunduk sambil mengusap-usap rambut lelaki tampan yang masih rajin
menjilati vaginanya. Kelopak matanya kembali terbuka. Bola matanya
berbinar-binar menikmati pemandangan erotis di pangkal pahanya. Menikmati
indahnya lidah yang menjulur dan menghilang dalam belahan bibir vaginanya.
Lidah yang basah mengkilap ketika keluar dari lubang vaginanya. Tanpa sadar ia
mendesah ketika lidah itu mulai mencari-cari sisa lendir di balik sekumpulan
urat saraf yang menutupi klitorisnya. Ia menggeliat. Dan menggeliat lagi ketika
merasakan klitorisnya dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu diturunkannya
telapak kaki kirinya dari lengan kursi. Setelah memindahkan berat badannya ke
kaki kirinya, diangkatnya kaki kanannya dan diletakkannya pahanya di pundak
lelaki itu. Ia menarik nafas lega merasakan kehangatan di bagian dalam pahanya,
bagian yang menempel dengan pipi Theo.
"Nggak apa-apa 'kan, Sayang." kata gadis itu sambil mempermainkan
jari-jari tangannya di rambut lelaki itu.
Ia terpaksa bertanya karena sebelumnya tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Tidak pernah berdiri sambil menjepit kepala di pangkal pahanya.
Theo menengadah, lalu mengangguk.
"Puaskan Debby ya, Sayang. Sebentar lagi, mimik lagi ya." Theo
mengangguk kembali sambil mengulum klitoris gadis remaja yang nakal itu. Melihat
anggukan kepala itu, Debby jadi lebih bersemangat untuk meraih puncak
orgasmenya. Kedua tangannya segera menekan kepala lelaki itu agar semakin
terdesak ke vaginanya. Satu tangan menekan bagian belakang kepala, dan yang
sebelah lagi menjambak segenggam rambut. Posisi seperti itu membuatnya sangat
bergairah. Kelopak matanya terbuka lebar menatap kepala yang pasrah di pangkal
pahanya. Seolah kepala itu dipersembahkan sebagai alat untuk meraih puncak
orgasmenya.
Walaupun vaginanya telah pernah beberapa kali dioral oleh guru matematikanya
itu, tetapi ia belum pernah merasakan nikmatnya mengendalikan kepala itu di
pangkal pahanya. Mengendalikan sesuka hatinya. Jantungnya berdebar-debar ketika
ia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Ia merasa lebih nikmat karena
pinggulnya bebas bergerak sesuka hatinya. Ia pun merasa bebas untuk
mengerak-gerakan kepala lelaki itu ke arah yang ia inginkan. Menekannya,
mendorongnya, atau bahkan menariknya. Beberapa kali ia terpaksa menariknya
sambil berjinjit karena kumis lelaki itu terasa menyentuh ujung atas belahan
vaginanya.
"Argh..! Argh..!" rintihnya menahan nikmat yang mendera sekujur
tubuhnya. Debby merasakan lendir yang semakin deras mengalir ke vaginanya.
"Mimik, Sayang," katanya sambil menekan pundak Theo dengan paha
belakangnya.
Ia ingin lidah itu menyusup ke dalam vaginanya, menarik lendir dan mengisapnya.
Ia merasa bahwa sebentar lagi ia akan mencapai puncak orgasmenya. Ia ingin
merasakan kelembutan dan kehangatan bibir itu ketika dinding vaginanya
berdenyut-denyut. Sambil agak menekuk kedua lututnya, dihentakkannya pinggulnya
agar lidah dan bibir lelaki itu masuk lebih dalam ke lubang vaginanya. Ia
seolah mendapat sinyal ketika merasakan remasan di bongkah pantatnya, sinyal
yang menyatakan bahwa lelaki itu menyukai hentakan pinggulnya. Tanpa ragu, ia
kembali menghentakkan pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki
itu. Dilakukannya berulang kali, seolah ingin menunjukkan bahwa vaginanya ingin
menelan lidah dan mulut lelaki itu.
"Theoo.., aarrgghh..," rintihnya sambil menekan dahi lelaki itu
dengan ujung jarinya. Tekanan itu menyebabkan wajah Theo terdongak hingga
mulutnya persis berada di bawah vaginanya.
"Mimik 'pipis' Debby, Sayaang," rintihnya sambil menghentak-hentakkan
pinggulnya dengan cepat.
Sekujur tubuhnya menggigil merasakan nikmatnya lidah yang tertanam di lubang
vaginanya, lidah yang dapat ia perlakukan sesuka hatinya. Seolah ada 'penis'
kecil tertanam di lubang kemaluannya. Ia menggigil merasakan sensasi nikmat
yang luar biasa dalam terpaan dinginnya angin malam yang berembun. Bulu-bulu
roma di sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan lahapnya lidah dan mulut
lelaki itu menghisap-hisap, menanti lendir orgasme yang akan tumpah dari
vaginanya.
"Aarrgghh.., hasshh.., hasshh.., aarrgghh, aarrgghh, aarrgghh..!"
rintihnya berkepanjangan ketika 'menumpahkan' orgasmenya.
Ia masih merintih-rintih bekepanjangan ketika merasakan liarnya lidah lelaki
itu menjentik-jentik bibir dalam vaginanya. Lidah itu masih rajin bergerak
seolah belum terpuaskan dengan segumpal lendir yang telah mengalir dari lubang
vaginanya. Theo masih menjilat-jilat. Sesekali mengulum bibir luar vagina gadis
yang masih terengah-engah itu. Ia pun merasakan nikmat yang luar biasa ketika
merasakan lendir orgasme gadis remaja itu mengalir ke kerongkongannya. Mungkin
karena dinginnya terpaan angin, lendir orgasme yang ditelannya terasa lebih
hangat dari biasanya. Paha yang menekan pipinya pun terasa lebih hangat. Dan..,
hentakan-hentakan pinggul itu lebih liar dari biasanya!
"Ooh Theo, nikmatnya!" desah Debby sambil menatap bola mata lelaki yang
masih dijepitnya di pangkal pahanya. Jari-jari tangannya mengusap-usap dahi dan
rambut lelaki itu. Dibelai-belainya dengan mesra. Bibirnya tersenyum bahagia.
"Sekarang kita ke kamar yuk!" sambungnya sambil mengangkat pahanya
dari pundak lelaki itu.
Di atas 'king size bed' tergeletak tubuh telanjang seorang gadis belia. Tubuh
itu tergeletak dengan pose yang sangat menantang. Satu kaki terbujur lurus di
atas kasur, dan yang sebelah lagi menekuk setengah terbuka mengangkang. Dan
bibir gadis itu tersenyum manis. Merekah. Di cermin besar di dinding, bayangan
tubuh indah itu terpantul seutuhnya. Seolah ada dua gadis belia yang sedang
telanjang atas tempat tidur.
Theo menaiki tempat tidur dan menjatuhkan dadanya di antara kedua belah paha
gadis belia itu. Lalu dengan gemas, diciumnya pusar gadis itu.
"Theoo, geli!"
Theo tersenyum sambil mengangkat kepalanya. Tapi tak lama kemudian
diulang-ulangnya mencium hingga membuat gadis belia itu menggelinjang beberapa
kali. Lalu ia merasakan dua buah lengan yang menarik dagu dan rambutnya. Dengan
menggunakan kedua siku dan lututnya, ia merangkak hingga wajahnya terbenam di
antara kedua buah dada gadis itu. Dikecupnya lekukan buah dada yang putih itu.
Lidahnya sedikit menjulur ketika mengecup. Kecupan basah. Ia tak merasa puas
bila lidahnya tak merasakan kehalusan kulit buah dada gadis belia itu.
Tak lama kemudian, lidahnya melata menjilat buah dada yang sebelah kanan.
Diulangnya beberapa kali hingga buah dada itu mulai basah tersapu air liurnya.
Ia berhenti sejenak untuk menatap keindahan puting di pucuk buah dada itu. Lalu
tangannya kirinya bergerak mengusap bagian bawah buah dada itu, kemudian
bergerak ke arah atas sambil meremas dengan lembut. Sesaat ia menahan nafas
menikmati kekenyalan buah dada itu di telapak tangannya. Remasannya membuat
puting itu terlihat semakin tinggi. Menggemaskan. Dan dengan cepat dikecupnya
puting buah dada yang masih kecil itu. Dikulumnya sambil mengusap-usapkan
tangan kanannya di punggung gadis itu.
"Kau murid yang cantik sekali," kata Theo sambil mendekatkan wajahnya
ke wajah gadis itu.
Debby tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Dirangkulnya leher guru
matematika yang disayanginya itu dengan tangan kirinya, kemudian diciumnya
bibir lelaki itu dengan mesra. Dihisapnya lidah yang menyusup ke bibirnya.
Dihisapnya sambil mengait-ngaitkan ujung lidahnya. Tak lama kemudian, tangannya
kanannya bergerak ke arah pangkal paha lelaki itu. Setelah mengusap-usap
beberapa kali, digenggamnya batang kemaluan lelaki itu. Lalu diarahkannya cendawan
batang kemaluan itu ke celah di antara bibir vaginanya yang mulai berlendir.
"Ambil hadiahnya, Theo," bisik gadis itu sambil mengusap-usapkan
cendawan itu ke bibir vaginanya.
Theo menarik nafas panjang merasakan kelembutan dan kehangatan di ujung batang
kemaluannya. Untuk pertama kalinya lendir dari celah bibir vagina gadis belia
itu mengolesi ujung cendawannya. Batang kemaluannya menjadi semakin keras.
Urat-urat berwarna hijau di kulit batang kemaluannya semakin membengkak.
Setelah menunjukkan kesabarannya selama sebulan, kesabaran mencumbui vagina
gadis itu hanya dengan lidahnya, ternyata kesabarannya membuahkan hasil. Gadis
itu akhirnya memberikan hadiah istimewa yang akan membawanya ke pintu surga
dunia. Hadiah istimewa yang tak pernah diduganya akan diberikan oleh salah
seorang muridnya.
Theo sedikit menekan pinggulnya agar cendawan itu terselip di bibir vagina yang
berwarna pink itu. Ia menatap wajah gadis belia itu ketika merasakan pinggul
yang ditindihnya menggeliat. Dengan tambahan tekanan yang lebih keras, cendawan
batang kemaluannya akhirnya terselip. Ia menahan nafas ketika merasakan hangat
dan sempitnya bibir vagina itu menjepit cendawan kemaluannya. Setelah sebulan
bersabar, akhirnya vagina yang segar ini dapat kumiliki, katanya dalam hati. Lalu
ia mulai menciumi leher gadis itu. Dadanya direndahkan hingga menekan kedua
buah dada gadis itu. Ia sengaja melakukan hal itu karena ingin merasakan
kekenyalan buah dada itu ketika menggeliat. Ia yakin gadis itu akan
mengeliat-geliat ketika ia mendorong batang kemaluannya lebih dalam.
"Ohh.., Theo." Theo menciumi telinga gadis itu.
"Belit pinggangku dengan kakimu, Sayang," bisiknya di sela-sela
ciumannya.
Tangan kirinya meremas buah dada gadis itu, sedangkan tangan kanannya
mengelus-elus paha luar yang baru membelit pinggangnya. Lalu ia mendorong
batang kemaluannya lebih dalam. Sesak! Perlahan-lahan ia menarik sedikit batang
kemaluannya, kemudian mendorongnya. Hal itu dilakukannya beberapa kali hingga
ia merasakan cairan lendir yang semakin banyak mengolesi cendawan kemaluannya.
Sambil menghembuskan nafas berat, didorongnya batang kemaluannya lebih dalam
hingga ujung cendawannya menyentuh sesuatu. Ia menahan gerakan pinggulnya
ketika melihat gadis belia itu meringis. Ia tak ingin menyakiti murid yang sangat
disayanginya itu. Selain itu, tubuhnya sendiri pun bergetar merasakan sempitnya
lubang vagina itu. Dadanya berdebar-debar ketika ia membiarkan ujung
kemaluannya bersentuhan dengan selaput tipis yang sebentar lagi akan
dirobeknya.
"Sakit, Theo!"
"Tahan sedikit ya, Sayang."
Theo kembali menarik batang kemaluannya hingga hanya ujung cendawan kemaluannya
yang terselip di bibir luar vagina sang gadis. Lalu didorongnya kembali
perlahan-lahan. Diulangnya beberapa kali. Ia diam sejenak mengamati raut wajah
yang cantik itu ketika ujung kemaluannya kembali menyentuh selaput tipis itu.
Mata gadis itu setengah terpejam, tetapi bibirnya sudah tidak meringis.
"Debby, nanti dorong pinggulnya, ya," katanya sambil menarik kembali
batang kemaluannya.
Lalu diciumnya bibir gadis itu dengan lahap. Ia tak ingin mendengar gadis itu
menjerit ketika ia mendorong kembali batang kemaluannya. puting buah dada gadis
itu diremasnya dengan jempol dan jari telunjuknya. Dan ketika merasakan gadis
itu mendorong pinggulnya, dengan cepat didorongnya pula batang kemaluannya.
"Hmm.., hhmm..!" gumam gadis itu sambil mengisap lidah Theo
sekeras-kerasnya.
Ia hanya dapat bergumam ketika merasakan batang kemaluan Theo menghunjam ke
dalam lubang vaginanya. Sekejap, tiba-tiba ia merasakan nyeri ketika batang
kemaluan itu menembus selaput di lubang vaginanya. Ia menggeliat-geliat
berusaha untuk melepaskan diri. Tapi semakin ia menggeliat, batang kemaluan itu
masuk semakin dalam. Akhirnya ia pasrah, diam tak bergerak!
Theo menahan gerakan pinggulnya. Ia telah mendapatkan hadiah yang dijanjikan
gadis itu. Tapi ia tidak ingin egois. Ia tidak ingin melihat gadis belia itu
meringis kesakitan ketika memberikan hadiahnya. Ia akan membuat gadis itu
bahagia dan turut menikmati pemberiannya. Oleh karena itu, ia menghentikan
gerakan pinggulnya. Sesaat, ia hanya membelai-belai rambut di dahi gadis itu.
Lalu mengecup keningnya dengan mesra. Tak lama kemudian, bibir gadis itu
dikecupnya dengan lembut. Dikulumnya dengan penuh perasaan. Ia baru menarik
batang kemaluannya perlahan-lahan setelah merasakan lidah gadis itu menyusup ke
dalam mulutnya.
Setelah menyadari tak ada perubahan di raut wajah gadis itu, Theo kembali
membenamkan batang kemaluannya perlahan-lahan. Kali ini ia hanya mendengar
gadis itu mendesis beberapa kali sambil merangkul lehernya erat-erat. Ia pun
merasakan dua buah kaki yang semakin erat membelit pinggangnya. Ia masih tetap
mendengar gadis itu mendesis ketika menarik batang kemaluannya.
Setelah menarik nafas panjang, dan tak sanggup lagi menahan kesabarannya, ia
menghentakkan pinggulnya sedalam-dalamnya hingga pangkal pahanya bersentuhan
dengan pangkal paha gadis itu. Ia mendesah beberapa kali ketika merasakan
seluruh batang kemaluannya terbenam ke dalam vagina gadis itu. Bahkan ia merasakan
ujung kemaluannya menyentuh mulut rahim gadis belia itu. Sejenak ia diam tak
bergerak. Ia sengaja membiarkan batang kemaluannya menikmati sempitnya lubang
vagina itu. Ia terpejam merasakan remasan lembut di batang kemaluannya ketika
vagina itu berdenyut.
"Aarrgghh.., ooh, ohh..," rintih debby ketika seluruh batang kemaluan
lelaki yang disayanginya itu telah terbenam ke dalam lubang vaginanya.
Ia merasakan pedih dan nikmat di sekujur tubuhnya. Rasa yang membuat bulu-bulu
roma di sekujur tubuhnya meremang, yang membuat ia terpaksa melengkungkan
punggungnya. Kuku-kuku jari tangannya menancap di punggung lelaki itu ketika ia
merasakan biji kemaluan Theo memukul lubang duburnya. Ia semakin melengkungkan
punggungnya menjauhi kasur ketika lelaki itu menarik batang kemaluannya. Ia tak
mampu bernafas ketika merasakan nikmatnya saat bibir dalam vaginanya tertarik
bersama batang kemaluan itu.
Tak ada lagi pedih yang tersisa. Hanya ada nikmat yang menjalar dari vaginanya,
nikmat yang membuat punggungnya terhempas ke atas kasur ketika lelaki itu
kembali menghunjamkan batang kemaluannya. Ia menggigit bibirnya meresapi
kenikmatan yang mengalir dari klitorisnya. Klitoris yang tergesek ketika
gurunya yang jantan itu menghunjamkan batang kemaluannya. Kenikmatan itu membuat
ia terengah-engah karena hanya mendapatkan sedikit udara setiap kali ia menarik
nafas.
Theo mendesah setiap kali mendorong batang kemaluannya. Seumur hidupnya, Ia tak
pernah merasakan ada vagina yang menjepit batang kemaluannya sekeras itu.
Vagina sempit yang membuat telapak tangannya harus menekan kasur
sekeras-kerasnya ketika ia menarik batang kemaluannya. Akhirnya ia tertelungkup
di dada gadis itu. Tangannya menyusup ke balik punggung dan menggenggam kedua
bahu gadis itu. Ia terpaksa hanya mengandalkan lututnya untuk menekan kasur
agar ia tetap dapat mengangkat dan mendorong pinggulnya. Ia hampir tak mampu
membendung air maninya lebih lama lagi. Dipandangnya pangkal pahanya. Air mani
di kantung biji kemaluannya terasa semakin meronta-ronta ketika ia melihat
bibir luar vagina mungil itu ikut terbenam setiap kali ia mendorong batang
kemaluannya.
"Aarrgghh.., Debbyy..!" desah Theo.
Nafasnya mendengus-dengus. Kelopak matanya terbeliak-beliak. Telinganya
mendengar bunyi "plak" setiap kali ia menghunjamkan batang
kemaluannya. Bunyi yang sangat mesra itu terdengar setiap kali pangkal pahanya
beradu dengan pangkal paha gadis belia itu. Bunyi itu semakin keras terdengar
setiap kali gadis itu mengangkat pinggulnya untuk menyongsong batang
kemaluannya yang menghunjam.
"Aarrgghh.., Debby, aaku.. Aaku.."
"Theoo.., aarrgghh..!"
Theo tak mampu lagi mengendalikan air mani yang meronta-ronta. Tekanan air mani
di kantung biji kemaluannya terasa sangat kuat. Ia masih mencoba bertahan. Tapi
semakin lama vagina yang menelan kemaluannya terasa meremas semakin kuat.
Remasan yang berdenyut-denyut, seolah ingin menghisap air mani yang tertahan di
batang kemaluannya.
"Aarrgghh.., aarrgghh.., aku pipiiss..," raung Theo ketika merasakan
air maninya menerobos lubang saluran kemaluannya.
Ia menghunjamkan pinggulnya sekeras-kerasnya agar ujung cendawannya tertanam
sedalam-dalamnya ketika air maninya menerobos ke luar dari kantung biji
kemaluannya. Ia mencengkeram kedua bahu gadis itu dengan erat saat ia pun
merasakan gigitan manja di bahu kanannya..
"Theoo, aarrgghh.., aarrgghh.., Debby pipiiss jugaa..!" rintih gadis
belia itu ketika merasakan air mani yang sangat panas 'menembak' mulut
rahimnya!
Akhirnya setelah sang gadis mempersembahkan hadiah istimewanya untuk sang
kekasih, mereka tidur berpelukan.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar